Apa saja bagian sejarah Indonesia yang tidak diajarkan di sekolah?

Cukup banyak. Berikut adalah sejarah tentang masa-masa kemerdekaan Indonesia yang tidak secara lengkap diajarkan di sekolah karena ini diambil dua sudut pandang, Belanda dan Indonesia.

Fakta bahwa Indonesia suatu saat akan merdeka bukanlah hal baru bagi pemerintah Belanda.

Pada tahun 1916, Pemerintah Belanda memutuskan untuk mendirikan Volksraad (Dewan Rakyat) untuk Hindia Belanda (Indonesia). Tujuannya adalah agar Hindia Belanda dan berbagai wilayah di kepulauan Indonesia akan mandiri secara ekonomi dan politik di masa mendatang. Dewan kota dan provinsi dibentuk antara tahun 1905 dan 1922, yang juga melibatkan masyarakat adat.

Gubernur Jenderal bahkan mengundang perwakilan dari organisasi-organisasi Indonesia untuk menyumbangkan gagasan dan sarannya. Pertemuan ini juga membahas dan meneliti kesamaan bahasa yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Indonesia. (Tidak heran banyak bahasa kita yang mirip dengan bahasa Belanda)

Volksraad terdiri dari 30 orang pribumi, 25 orang Belanda dan 5 orang wakil dari Cina.

Mari kita percepat ke masa-masa krisis Perang Dunia II.

Ketika tentara Jepang menaklukkan Hindia Belanda, seluruh orang Eropa dimasukkan ke dalam kamp. Banyak laki-laki yang dikirim ke Burma untuk membangun jalur kereta api Burma, sedangkan, gadis-gadis Eropa dijadikan wanita penghibur bagi tentara Jepang.

Kemudian, ketika Jepang menyerah, kemerdekaan Indonesia akhirnya dideklarasikan oleh kaum Nasionalis Indonesia pada tahun 1945. Namun terjadi kekosongan kekuasaan di kepulauan Indonesia pada saat itu. Tidak Jepang, Tidak pula Belanda, Tidak pula Indonesia itu sendiri. Tidak adanya 'pemerintah pusat' yang dapat memulihkan ketertiban menciptakan rentetan kekacauan besar. Rakyat saat itu layaknya hewan buas yang akhirnya dilepas dari kukungannya setelah bertahun-tahun. Liar dan bengis.

Pasukan Indonesia (yang terdiri dari para pemuda yang pernah dilatih oleh tentara Jepang), saat itu tidak hanya merebut gedung-gedung pemerintah dan gudang senjata (Jepang), tetapi juga mendatangi kamp-kamp tempat para orang-orang Eropa ditahan.

Pada akhirnya, antara 20.000 hingga 30.000 warga sipil Belanda, tua dan muda, yang baru saja dibebaskan oleh Jepang, terbunuh oleh Pasukan Indonesia. Periode kekacauan dan pembantaian ini disebut juga sebagai Masa Bersiap[1] (yang tentu saja tidak ada di Buku). Belanda kemudian melarikan diri kembali ke kamp dan meminta bantuan tentara Jepang. Tentara Jepang yang pernah menahan mereka kini mereka minta untuk mengembalikan mereka ke kamp.

Sementara itu, banyaknya tentara Eropa di Asia yang dipenjarakan oleh Jepang membuat Inggris campur tangan dan kemudian mengirimkan 25.000 Ghurka[2] (Tentara Inggris yang terdiri dari masyarakat Nepal) dan tentara India.

Uniknya, tentara Inggris (Gurkha/India) ini adalah tentara yang sama yang melawan Jepang di Singapura, namun kali itu mereka terpaksa bekerja sama untuk melawan kaum Nasionalis Indonesia.

Pada tanggal 30 Oktober 1945, Brigadir Jenderal Inggris A.W.S. Mallaby melakukan pembicaraan dengan kaum Nasionalis mengenai pengembalian senjata milik Jepang. Mengingat liarnya situasi saat itu, Mallaby menambahkan tekanan kepada Rakyat Indonesia dengan melemparkan poster dari pesawat untuk menuntut kaum nasionalis agar meletakkan senjata secepatnya (yang kita kenal sebagai Ultimatum pemicu pecahnya Pertempuran di Surabaya)

Kaum Nasionalis Indonesia sangat marah kepada Mallaby atas ultimatum yang dilemparkannya sehingga dia dibunuh saat sedang berada di dalam mobil.

Hal ini membuat tentara Inggris sangat marah dan terjun langsung ke Surabaya. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai Pertempuran Surabaya yang menewaskan sekitar 16.000 Rakyat Indonesia.


Sementara itu, Belanda bersiap untuk mengirimkan tentaranya ke Indonesia, karena Pemerintah Inggris tidak lagi mau membantu menyelesaikan permasalahan Belanda.

Sekitar 180.000 tentara Belanda yang dikirim ke Indonesia.

Kebanyakan tentara Belanda ini sama sekali tidak berpengalaman dan tidak mempunyai pengalaman bertempur. Hal yang wajar mengingat Belanda telah diduduki oleh Pasukan Nazi selama lima tahun sebelumnya.

Tentara Belanda juga mendapat laporan tentang Masa Bersiap dan Pertempuran Surabaya. Dalam pandangan mereka, Hindia Belanda masih diduduki oleh Jepang dan harus dibebaskan.

Tentara Belanda bersama dengan tentara Kerajaan Kolonial Hindia Belanda berjumlah sekitar 220.000 orang.

Prioritas utama pemerintah Belanda adalah menertibkan dan memulihkan kembali perekonomian di Hindia Belanda, yang berhasil dilakukan di kota-kota besar. Namun tentara Belanda masih tidak dapat menguasai kaum nasionalis Indonesia di pedesaan.

Tentara Belanda mengira mereka akan diterima sebagai pahlawan oleh Indonesia, namun peristiwa di Surabaya menandakan kebangkitan kemerdekaan. Bukannya mendapat tepuk tangan, tentara Belanda justru malah disergap.

Kecewa dan dendam, juga karena kurangnya pengalaman serta stres, tentara Belanda melakukan banyak kejahatan terhadap penduduk setempat. Tindakan-tindakan ini semakin memperburuk situasi dan meningkatkan keinginan untuk benar-benar merdeka di kalangan Masyarakat Indonesia.


Untuk mencegah lebih banyak kekerasan antara tentara Belanda dan Nasionalis Indonesia, perjanjian politik pun dibuat pada tanggal 15 November 1946, yang kita kenal sebagai Perjanjian Linggadjati [3]antara Komisi Umum yang mewakili pemerintah Belanda dan pimpinan Republik Indonesia yang -dianggap- diproklamasikan secara sepihak.

Jadi, apakah militer Belanda melakukan kejahatan, ya, tentu saja.

Apakah Perang Kemerdekaan berlangsung terlalu lama? ya, terlalu lama.

Namun terlalu banyak peristiwa berbeda yang terjadi sehingga Belanda terlalu lama ragu-ragu untuk memerdekakan Indonesia.

Menurut saya (penulis) pribadi, jika pertempuran Surabaya tidak pernah terjadi, maka transisi menuju kemerdekaan akan lebih lancar. Saya memperkirakan, seperti kebanyakan negara jajahan di dunia, Indonesia akan merdeka pada tahun 1960an. Sejak tahun 1905 Pemerintah Belanda mengharapkan Indonesia suatu saat akan merdeka. Perang dunia kedua hanya mempercepat kemerdekaan Indonesia.

Comments

Popular Posts